Sabtu, 23 April 2011

Tangis Kita

            Tak pernah menyangka aku bener-benar terjatuh dan terjerat dalam lingkaran hidupmu. Berulang kali kamu katakan ”maaf”, maaf karna telah membawaku dalam hidupmu. Seharusnya kamu tidak pernah melakukan itu, sehingga aku tidak akan terluka bila kamu pergi. Bila kamu tak mampu berada di sisiku lagi.

            Ketika aku memilih tuk berada di sisimu, disaat itu aku tlah mempersiapkan diriku untuk kemungkinan terburuk. Sesungguhnya butuh keberaniaan yang luar biasa  untuk mencintaimu sayang. Keberaniaan untuk menerima segala kekuranganmu, keberanian untuk nantinya tetap setia di kondisi terburukmu, dan juga keberanian untuk kehilangan mu kapan saja.

            Kemarin, ketika kita duduk berdua, bercerita, membeberkan kenyataan yang menyakitkan. Kamu yang ingin aku sadar, bahwa pada kenyataannya, mungkin kamu tidak akan bisa berada disisiku selamanya. Aku hanya diam dipelukanmu. Menahan air mata yang hampir tumpah. Lalu aku melihatmu, diam-diam kamu menangis. Namun dengan cepat kamu menyeka air mata mu, mungkin karna kamu tak ingin terlihat lemah di hadapanku. Aku membiarkan mu, berpura-pura tidak tahu, hingga kamu tak perlu merasa malu.

            Lalu sejenak kamu ingin bersandar di bahuku, tentu saja ku izinkan. Raga ini milikmu cinta. Lalu kamu terus bercerita, menumpahkan keluh serta resah di dada. Kamu yang sebenarnya merasa sudah tak mampu menjalani ini semua. Kamu yang sebenarnya sangat membenci malam, karna malam memberikan rasa sakit yang luar biasa. Katamu setiap malam adalah perjuangan untuk tetap bisa hidup di keesokan harinya. Perjuangan untuk tetap bisa melihat dan bersamaku. Dan saat itu kamu menangis, tanpa malu-malu tersedu-sedu di pundak ku. Lalu aku, jangan tanya, aku tak mampu menahan air mata dan rasa pilu itu. Pelukkan kita semakin erat, seperti tak ingin lepas. Dan saat itu aku benar-benar merasa waktu adalah musuh terbesar bagi kita. Aku membencinya. Sungguh membencinya. Hingga ingin rasanya ku bunuh dia. Lalu aku membenci diriku sendiri karna tak mampu, aku tak mampu cinta.

            Dan akhirnya kita berdamai pada kenyataan. Kita sepakat akan menjalani semuanya dengan ikhlas. Biarlah waktu tetap berjalan dengan semestinya. Dan bila memang kita harus terpisah, biarlah. Aku dan kamu harus ikhlas menerima. Lalu bersyukur karna kita pernah berjumpa, merajut kasih dan cinta, saling mengisi dikala tangis dan tawa. Kamu, kamu tidak akan pernah ku lupa. Yakini itu cinta..








Rabu, 30 Maret 2011

Hujan, Dia Memang Slalu Begitu

            Belakangan ini bumi sepertinya sedang sangat mencintai hujan. Dia terus memintanya datang. Hari ini juga begitu. Dalam perjalanan tadi, aku melihat orang-orang yang menepi untuk berteduh. Dan semua pandangan mereka kosong, entah apa yang sedang mereka pikirkan.

            Aku melihat seorang ibu setengah baya yang berteduh di bawah ruko di pinggiran jalan. Disebelahnya ada sebuah sepeda, ku yakin itu miliknya. Akh, sepertinya ada gurat lelah di wajahnya. Aku yakin hidup tidak begitu ramah menyapanya. Ku rasa dia adalah seorang ibu dari beberapa anak yang masih bersekolah, dengan seorang suami yang penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan mereka. Sehingga dia juga harus ikut memeras keringat demi pemenuhan kebutuhan keluarga. Apa yang engkau pikirkan Bu? Apakah kau mengkhawatirkan hari esok? Mengkhawatirkan apakah ada makanan yang bisa dimakan besok. Atau adakah uang untuk ongkos dan jajan anakmu besok, hingga ia tidak kelaparan di sekolah. Akh, bila benar itu yang kau pikirkan, pasti dadamu terasa sangat sesak saat ini. Ku rasa bau hujan akan membantu, hiruplah perlahan Bu. Atau mungkin saja aku salah, pikiranmu malah sedang berjalan pelan menelusuri hutan kenangan? Kenangan yang juga tak kalah menyesakkan.

            Hujan memang selalu begitu, dia selalu membuat pikiran kita bekerja extra. Membawanya untuk membayangkan hari esok atau malah berjalan jauh menuju kenangan yang ingin dilupakan. Lalu apa yang hujan lakukan padaku? Dia membawaku berjalan ke lorong-lorong kenangan. Sejak roda itu berputar, layar kenangan itu juga terpampang luas. Sekali-sekali aku tersenyum, jangan kau pikir aku tengah berada pada episode bahagia. Kamu salah, aku berada pada episode-episode yang menyakitkan. Lalu senyuman itu, itu hanya penghibur diri. Agar sakitnya tidak terlalu terasa.

            Lalu pada episode-episode yang melibatkan hati, ini yang paling melibatkan emosi. Ingin kamu lupakan, tapi tidak ingin juga melupakan seluruhnya. Lalu aku sadar, Sang Waktu. Sang Waktu telah menghantarkan hati untuk bertemu dengan hati yang lain. Yang kemudian kau relakan pergi untuk sebuah alasan. Satu alasan, untuk satu kisah. Ada alasan dimana kamu merelakan karna keadaan tidak mengizinkan. Kau memilih pergi, karna tak ingin ada yang tersakiti. Dan ketika dia tlah menemukan kebahagiaannya, kau tersenyum dan berbisik dalam hati, ”Semoga bahagia, dan semoga aku juga dapat merasakan kebahaiaan sepertimu.”
Dan ada alasan dimana kamu memilih pergi karna tak pernah mampu percaya. Tak mampu yakin padanya, meski dia telah berjuang tanpa lelah untuk meraih hatimu. Dan ketika dia tlah menemukan orang lain, kau juga berbisik, ”Semoga dia mampu membahagiakanmu.” Tapi tetap ada tanda tanya di hatimu. Apakah yang akan terjadi pada kita, bila aku memberimu satu saja kesempatan, satu saja.
Mungkin juga ada alasan dimana kamu memilih pergi karna merasa terlalu lelah disia-siakan. Dan untuk yang satu ini, kamu benar-benar menyakinkan diri bahwa dia tidak pantas menerima ketulusan hatimu.

            Pasti ada banyak pikiran yang tersesat hari ini, karna sejak tadi hujan tak kunjung mereda. Terus mengucapkan mantra-mantranya. Akh, aku semakin tesesat tak tau jalan pulang menuju masa sekarang.

Kamis, 24 Maret 2011

Dia yang Kusebut Ayah


Ayah..
            Hampir dua puluh tahun, sekarang usiaku hampir dua puluh tahun Yah. Gadis kecilmu ini sekarang sudah menjelma menjadi perempuan dewasa yang berusaha untuk menjadi kebanggaanmu. Masih teringat jelas di dalam kantung memoriku. Disaat aku kecil dulu, dirumah sederhana kita yang masih kita tempati sampai sekarang bersama ibu dan saudara-saudaraku. Kau sering sekali mencandaiku. Berpura-pura kerasukan setan lalu mengejarku, hingga aku lari kepangkuan ibu. Lalu kau akan tertawa puas, lalu dengan semangat menggendong dan melempar-lempar tubuh mungilku ke udara . Aku merasa kesal sekali padamu, sekaligus sangat sayang. Tak cukup dengan itu, kau lalu menciumku tanpa ampun.

            Atau, apakah kau ingat kejadian di kebun binatang dimasa lalu? Kita sekeluarga pergi kesana. Entah dalam rangka apa, aku lupa. Kira-kira usiaku 4 tahun kala itu. Aku semangat sekali memperhatikan hewan-hewan yang baru pertama kali ku lihat secara langsung. Sehingga aku tidak sadar kalau kau pergi entah kemana. Lalu aku menanyakan keberanaan mu pada ibu. Ternyata ibu juga tidak tahu, dia terlalu sibuk mengawasi aku dan kakakku. Aku benar-benar takut kala itu. Kukira kau menghilang, aku menangis sekencang-kencangnya. Sambil tersedu-sedu aku terus memanggilmu. Seketika kau muncul di hadapanku. Aku langsung mendekapmu dan memintamu untuk menggendongku. Wajahmu sungguh bingung, dan ibu menjelaskan kenapa aku begitu. Saat itu kau langsung menciumiku, dan mengatakan, ”Aku disini nak. Jangan takut, aku tidak akan meninggalkanmu.” 
Dan sampai saat ini kau memang menepati janjimu.

            Kini tubuhmu tidak sesegar dulu. Waktu tlah membuatnya layu. Mungkin juga karna keadaan kita tak sebaik dulu. Tahun 1998, dimana pergolakkan terjadi di negri ini. Ketika pekerjaan tak semudah dulu menghampirimu. Kau memilih berhenti. Dan keadaan berubah. Kau mulai menjual mobil kita, dan uang tabungan yang kau punya juga semakin lama semakin habis. Kau mulai mencari akal untuk menghidupi keluarga kita, dari membuka perkebunan pinang, perkebunan cabai, peternakan ikan dan semuanya tidak berjalan lancar. Pada saat-saat itu kau jarang berada dirumah. Kau pergi untuk waktu yang lama, sekitar sebulan atau dua bulan. Aku sangat merindukanmu kala itu. Hingga pada akhirnya kau memutuskan untuk membuka usaha kecil. Meski tidak bisa membuat kita merasakan kenyamanan seperti dulu. Tapi setidaknya itu masih mampu menopang kebutuhan kita sehari-hari. Dan aku, aku masih bisa merasakan bangku kuliah. Dan aku sangat bersyukur akan itu.

            Kini aku menjelma menjadi gadis yang mempesona (itu kata-kata orang loh :D). Banyak teman laki-laki yang mulai datang ke rumah. Dan aku selalu tertawa geli sekaligus ngeri melihat ekspresimu. Ekspresi yang mengatakan, ”Hei, jangan macam-macam dengan putriku!”  Kadang aku kesal sekali padamu, karna melarangku untuk pergi dengan teman lelakiku. Sepertinya kau tahu itu, lalu dengan pelan kau mengatakan ini padaku. ”Bukannya ayah tidak percaya padamu. Hanya saja, biarkan dulu ayah mengenalnya, biarkan dia sering-sering dulu datang ke rumah kita. Bukanny kenapa-kenapa, ayah hanya ingin menjaga kehormatanmu. Agar ia tau, bahwa tidak sembarangan pria yang bisa membawamu keluar dari rumah ayah.”
Saat itu rasanya aku ingin langsung memelukmu Yah. Aku mencintaimu, sungguh!
            Semoga Tuhan berbaik hati untuk memberi rezeki waktu pada kita. Hingga kau bisa melihat kelulusanku. Melihat aku menikah, menjadi waliku. Melepaskan aku pada laki-laki yang ku yakini mampu membahagiakanku. Dan tentunya kau juga yakin kalau dia adalah yang terbaik untukku, hingga kau tak perlu merasa khawatir melepas gadis kecilmu . Dan akhirnya aku bisa melihatmu bermain dengan anak-anakku, cucumu. Akh, ku harap Tuhan mengizinkan itu. Semoga....


Minggu, 20 Maret 2011

IBU

 IBU...
            Wanita terhebat dihidupku. Engkau yang slalu memberi kasihmu tanpa batas waktu. Engkau yang slalu berjuang demi aku anakmu. Engkau yang masih terlihat mempesona, meski kerut tlah tampak di wajah cantikmu. Engkau yang yang seharusnya tlah beristirahat di usia senjamu. Namun masih saja bekerja untuk mengusahakan kenyamanan bagiku. Maafkan aku ibu...Yang belum mampu menjadi kebanggaanmu.

            Selalu merasa berdosa bila melihat peluh yang jatuh dari keningmu. Rasanya sudah tak pantas, aku yang tlah dewasa masih saja terus merepotatkanmu, dengan segala kebutuhanku. Bersabarlah Bu, aku butuh sedikit waktu. Yah, sedikit lagi untuk bisa menjadi kebangganmu. Sedikit lagi untuk mendapat gelar sarjanaku. Memulai perjalanan karirku. Aku akan tumbuh, menjadi wanita dewasa yang tangguh, seperti harapanmu Bu..

            Kuharap Tuhan berbaik hati memberiku rezki waktu, hingga aku dapat membayar hutang budiku padamu. Meski ku tau, sebanyak apapun yang ku berikan padamu, itu takkan mampu untuk membayar semua cinta yang tlah kau curahkan untukku. Tapi setidaknya izinkan aku Bu, untuk menjadi anak yang berbakti padamu.

            Setelah lulus nanti, aku akan memulai perjalanan menjadi wanita mandiri. Yang berjuang untuk kenyamanan hidup, kenyamananmu. Meningkatkan harkat dan marbat kelurga kita. Saat itu, waktunya menegakkan kepala, waktunya menantang dunia. Namun tetap melihat ke bawah, hingga aku tidak lupa bahwa aku masih menginjak bumi Sang Pencipta. Hingga akhirnya waktu yang kita tunggu itu tiba. Waktu dimana kita sekeluarga akan tiba di sana, di tanah Para Nabi, Para Rasul. Dimana air mata akan tumpah, karna kita tlah sampai di rumah Nya. Semoga.....


           





Jumat, 18 Maret 2011

Sajak Malam


Malam kembali menjelma
Menjadi tiang-tiang kesunyian
Kubisikan setiap kata
Berharap dia mampu mewakiliku bicara

Ada pesan yang kutitipkan disana
Dengarlah..
Apa kau tidak mampu mendengarnya??

Kurasa begitu
Hatimu terlalu beku
Sedangkan aku tlah kaku
Dihantam rasa yang tak menentu

PS : ditulis pada malam, beberapa hari yang lalu.