Belakangan ini bumi sepertinya sedang sangat mencintai hujan. Dia terus memintanya datang. Hari ini juga begitu. Dalam perjalanan tadi, aku melihat orang-orang yang menepi untuk berteduh. Dan semua pandangan mereka kosong, entah apa yang sedang mereka pikirkan.
Aku melihat seorang ibu setengah baya yang berteduh di bawah ruko di pinggiran jalan. Disebelahnya ada sebuah sepeda, ku yakin itu miliknya. Akh, sepertinya ada gurat lelah di wajahnya. Aku yakin hidup tidak begitu ramah menyapanya. Ku rasa dia adalah seorang ibu dari beberapa anak yang masih bersekolah, dengan seorang suami yang penghasilannya tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh kebutuhan mereka. Sehingga dia juga harus ikut memeras keringat demi pemenuhan kebutuhan keluarga. Apa yang engkau pikirkan Bu? Apakah kau mengkhawatirkan hari esok? Mengkhawatirkan apakah ada makanan yang bisa dimakan besok. Atau adakah uang untuk ongkos dan jajan anakmu besok, hingga ia tidak kelaparan di sekolah. Akh, bila benar itu yang kau pikirkan, pasti dadamu terasa sangat sesak saat ini. Ku rasa bau hujan akan membantu, hiruplah perlahan Bu. Atau mungkin saja aku salah, pikiranmu malah sedang berjalan pelan menelusuri hutan kenangan? Kenangan yang juga tak kalah menyesakkan.
Hujan memang selalu begitu, dia selalu membuat pikiran kita bekerja extra. Membawanya untuk membayangkan hari esok atau malah berjalan jauh menuju kenangan yang ingin dilupakan. Lalu apa yang hujan lakukan padaku? Dia membawaku berjalan ke lorong-lorong kenangan. Sejak roda itu berputar, layar kenangan itu juga terpampang luas. Sekali-sekali aku tersenyum, jangan kau pikir aku tengah berada pada episode bahagia. Kamu salah, aku berada pada episode-episode yang menyakitkan. Lalu senyuman itu, itu hanya penghibur diri. Agar sakitnya tidak terlalu terasa.
Lalu pada episode-episode yang melibatkan hati, ini yang paling melibatkan emosi. Ingin kamu lupakan, tapi tidak ingin juga melupakan seluruhnya. Lalu aku sadar, Sang Waktu. Sang Waktu telah menghantarkan hati untuk bertemu dengan hati yang lain. Yang kemudian kau relakan pergi untuk sebuah alasan. Satu alasan, untuk satu kisah. Ada alasan dimana kamu merelakan karna keadaan tidak mengizinkan. Kau memilih pergi, karna tak ingin ada yang tersakiti. Dan ketika dia tlah menemukan kebahagiaannya, kau tersenyum dan berbisik dalam hati, ”Semoga bahagia, dan semoga aku juga dapat merasakan kebahaiaan sepertimu.”
Dan ada alasan dimana kamu memilih pergi karna tak pernah mampu percaya. Tak mampu yakin padanya, meski dia telah berjuang tanpa lelah untuk meraih hatimu. Dan ketika dia tlah menemukan orang lain, kau juga berbisik, ”Semoga dia mampu membahagiakanmu.” Tapi tetap ada tanda tanya di hatimu. Apakah yang akan terjadi pada kita, bila aku memberimu satu saja kesempatan, satu saja.
Mungkin juga ada alasan dimana kamu memilih pergi karna merasa terlalu lelah disia-siakan. Dan untuk yang satu ini, kamu benar-benar menyakinkan diri bahwa dia tidak pantas menerima ketulusan hatimu.
Pasti ada banyak pikiran yang tersesat hari ini, karna sejak tadi hujan tak kunjung mereda. Terus mengucapkan mantra-mantranya. Akh, aku semakin tesesat tak tau jalan pulang menuju masa sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar